CIVIL SOCIETY DESA:
PERANAN PERKUMPULAN WARGA
DI ERA OTONOMI DAN RESPON MASYARAKAT
DISUSUN OLEH :
YUSUF FALAQ
AHKMAD HELMIE ADITYA
ARIFAH FITRIYANTI
LATAR BELAKANG
Memperbincangkan dan mewujudkan civil society yang kuat di desa sangat relevan pada saat ini ketika pemerintahan desa telah dirombak strukturnya menjadi demokratis dengan memisahkan antara pemerintah desa sebagai lembaga yang menjalankan fungsi eksekutif dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang menjalankan fungsi legislatif. Hal ini karena civil society yang kuat sering dilihat sebagai elemen penting untuk mencapai pemerintahan yang demokratis dan membuat demokrasi bekerja untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berhasil dengan baik . Ketika Orde Baru berkuasa, hampir tidak menarik memperbincangkan dinamika dan keberagaman civil society desa. Hal ini karena semua organisasi sosial sebagai arena bagi civil society berhadapan dengan negara justru berada dalam pengaruhnya. Ini ditandai oleh keterlibatan yang luas dari pemerintah desa menjalankan fungsi sebagai penggerak pembangunan, di segala bidang dan mengontrol serta memobilisasi semua organisasi sosial untuk mendukung kinerja pemerintah desa dan pembangunan.
Gelora reformasi yang diwacanakan dan digerakkan oleh media, LSM, Mahasiswa, partai politik dan demokratisasi pemerintahan telah membuka ruang yang lebih leluasa bagi civil society untuk menguatkan posisinya berhadapan dengan pemerintah desa. Bahkan perubahan itu membuka peluang bagi warga untuk ikut berbicara, mengakses dan mengontrol jalannya pemerintahan dan mengusai sumberdaya lokal.
Mencermati perkumpulan warga untuk mengukur kekuatan civil society dalam berhadapan dengan pemerintahan desa diperlukan suatu konsep yang realistis. Mengikuti ada tiga kerangka pendekatan untuk menjelaskan civil society yang sering dipakai oleh para pemerhati. Pertama, civil society dalam kerangka tradisi Anglo-Amerika yang melihat sebagai elemen dalam masyarakat yang menjadi intermediator (penghubung) antara individu dan keluarga dengan institusi negara. Ketika demokrasi terlembaga dalam pemerintahan, mereka memegang peran yang penting dalam berbagai bidang seperti pendidikan, pelayanan sosial di mana warga berinteraksi dengan negara. Akan tetapi ketika demokrasi perkawilan dilembagakan, maka muncul jarak antara institusi negara dengan individu dan keluarga yang relatif powerless.. Dalam konteks ini, civil society menjadi suatu arena mengekspresikan interes warga dan menguatkan mereka mengartikulasikan kepentingannya berhadapan dengan institusi negara.
Kedua, civil society diangkat dari tantangan yang dihadapi oleh warga ketika berhadapan dengan rezim otoritarian di negara komunitas, kediktaktoran di Amerika Latin, Filipina dan Afrika Selatan. Civil society dan dimaknainya sebagai suatu gerakan yang merepresentasikan kekuatan kolektif dari para individu. Gerakan ini merupakan suatu perjuangan warga untuk mewujudkan negara demokrasi dan kebebasan bagi warganya . Dalam konteks ini civil society yang kuat adalah sebagai adalah institusi sosial yang berakar dalam masyarakat yang mampu untuk melawan kontrol yang dilakukan oleh rezim otoritarian . Konsep civil society ini dapat meliputi partai politik, LSM dan semua elemen yang memperjuangkan demokrasi dan melawan rezim kekuasaan yang otoriter.
Ketiga, diangkat dari pembangunan di sektor ekonomi. Sektor publik (negara dan institusinya) dan sektor swasta mempengaruhi perkembangan masyarakat, dan civil society dimaknai di luar ke dua sektor itu yang bergerak untuk melepaskan dari belenggu hegemoni negara dan pasar
Beberapa indikasi sering diangkat, seperti cepatnya demokratisasi, kian terbentuknya kelas menengah sosial ekonomi yang berpendidikan tinggi dan mempunyai kekuatan ekonomi, serta makin terbukanya akses informasi menjadi lebih mudah. Itulah yang sedang terjadi pada Masyarakat Madani (Al mujtama al-madani atau civil society) yang kini sedang bergaung di Negara Indonesia.
Secara sederhana, sistem politik madani dalah sistem politik yang civilized dan berperadaban. Dalam kenyataannya, sistem politik madani adalah sistem politik demokratis berdasarkan check and balance antara Negara dan masyarakat (society), berkeadilan, dan bersandar kepada kepatuhan dan tunduk kepada hukum.
Sedikit menengok kebelakang bahwa Nabi Muhammmad SAW sendiri bahkan telah mencontohkan secara aktual bagaimana perwujudan masyarakat madani itu, yaitu ketika beliau mendirikan serta memimpin Negara dan kota-kota di Jazirah Arab.
Masyarakat Madani lebih dari sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamadun (civility). Kemasyarakatan meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu untuk menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda .
Mengikuti buku , civil society merupakan totalitas dari gagasan dan tindakan kolektif dan inividu untuk mengelola barang publik (pablic good) yang diwujudkan melalui perkumpulan, asosiasi dan jaringan sosial. Dalam konteks kekinian civil society bukan suatu organisasi partai politik sehingga dalam melihat civil society desa, BPD bukan sebagai civil society karena mereka merupakan bagian dari rezim pemerintahan desa. Civil society juga sering dihubungkan dengan perkumpulan warga yang bersifat inklusif. Namun sulit untuk menemukan civil society desa dengan merujuk pada perkumpulan warga desa seperti itu. Dalam bukunya mengingatkan bahwa dalam realitasnya, organisasi-organisasi sosial yang eksklusif tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam organisasi semacam itu mungkin ada individu-individu yang berjuang untuk civil society.
Melalui perkumpulan, asosiasi dan jaringan sosial, warga dapat mengambil bagian dalam mengelola public good. Mereka dapat berpartisipasi di berbagai tingkat mulai dari menyuarakan aspirasi, mengelola, menguasai public good dan mengontrolnya.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana proses pendidikan poltik bagi masyarakat desa?
Bagaimana Perkumpulan Warga masyarakat Desa dalam pertumbuhannya menuju masyarakat madani?
Bagaimana sikap masyarakat Desa menghadapi hal kompleks yang terjadi di sekitar mereka?
Apakah di Era yang telah berubah ini tradisi dapat diwujudkan lebih baik atau justru lebih terperosok daripada saat Orde Baru?
Dapatkah pendidikan civi society mewujudkan impian seorang masyarakat desa menjadi seorang pemimpin?
Apakah masyarakat sipil, khususnya sebagai diinginkan kelompok-kelompok yang menyebutkan diri sebagai gerakan pro demokrasi harus berdiri head to head atau oposisi dengan kekuasaan, atau bahkan menumbangkan kekuasaan itu sendiri yang dianggap tidak memihak?
Bagaimana respon masyarakat memanfaatkan peluang menuju masyarakat madani?
Bagaimana sebaiknya memaknai civil society desa mengingat desa merupakan komunitas kecil dan relatif sederhana?
I. PRAKONDISI MENGUATNYA CIVIL SOCIETY DESA
Reformasi dimulai tahun 1998 telah mengubah kesadaran orang desa tentang pemerintah desanya. Melalui media televisi orang desa menyaksikan perubahan yang dasyat bahwa penguasa Orde Baru yang kuat dan selalu benar dan berjasa, dalam tempo yang singkat gerakan reformasi mampu menumbangkan dan membeberkan keburukan-keburukannya. Orang desa pun dapat menemukan kebobrokan penguasa dengan merujuk pada pemerintah desanya. Oleh karena itu ketika reformasi bergulir di tingkat pusat, orang desa pun ikut ikutan menumbangkan lurah dan pamong-pamongnya yang tiran,dan melakukan KKN. Menjelang Pemilu 1999, misalnya banyak pamong di Bantul yang dituntut oleh warganya untuk turun atau paling tidak dimejahijaukan karena telah menyalahgunakan wewenang dan melakukan tindak asusila.
Pemilu 1999 juga ikut menyadarkan orang desa tentang adanya era keterbukaan dan pengakuan atas suara rakyat oleh pemerintah. Orang desa menikmati pesta demokrasi dalam arti tidak ada tekanan untuk memilih suatu partai politik. Elite desa terutama lurah dan perangkatnya pun menyadari bahwa masa lalu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan karena selalu dihantui ketakutan jika Golkar tidak memperoleh suara mayoritas, dan mereka harus melakukan pemaksaan kepada warganya untuk menyalurkan suaranya untuk Golkar. Rasa bersalah itu menyebabkan mereka harus hati-hati untuk mencari dukungan dari warga.
Pada penghujung tahun 1999, dan terutama pada pertengahan tahun 2000, mereka memperoleh kepastian bahwa desanya kelak akan berubah karena akan diberlakukan UU No. 22/1999, yang mengamanatkan terbentuknya pemerintahan yang demokratis di desa. Perda yang menindaklanjuti amanat UU NO. 22/1999 untuk mewujudkan demokrasi dalam pemerintahan desa pun segera disosialisasikan oleh pemerintah, LSM dan elite-elite desanya. Pada umumnya warga hampir tidak mengetahui adanya perombakan pemerintahan desa melalui UU No. 22/1999 itu, tetapi ketika telah disusun draf perda kebanyakan mereka mengetahuinya dan sebagian ikut terlibat dalam wacana penyusunan draf perda itu. Di Kabupaten Kudus, dorongan untuk mewujudkan pemerintahan desa sesuai pesan UU No. 22/1999 terutama muncul dari elite desa. BPD bukan hanya untuk berpartisipasi dalam mengelola pemerintahan, tetapi memberikan arena bagi mereka untuk secara resmi menjadi semacam “priyayi” desa. Oleh karena itu, minat mereka menjadi calon anggota BPD sangat besar dan kontestasi dalam pemilihan BPD sangat ketat.
Implementasi perda-perda pemerintahan desa di kabupaten Kudus telah membawa perubahan yang simultan di hampir semua desa untuk menyelenggarakan pesta demokrasi. Masyarakatnya begitu antusias untuk menyelenggarakan pesta demokrasi itu. Pesta demokrasi di desa-desa yang relatif sering dan intensif serta semarak (pemilihan Kepala Desa, perangkat desa, kepala dusun, anggota dan sekretaris BPD) memberi pengalaman yang berharga bagi orang desa demkrasi berjalan baik bila berlansung LUBER dan jurdil serta terbuka. Meningkatnya kesadaran itu diikuti dengan semangat untuk menegakkannya, sehingga dalam banyak kasus pemilihan yang tidak memenuhi prinsip demokrasi seperti politik uang diprotes oleh warga.
Protes warga yang ditimbulkan karena berbagai alasan seperti (1) ketidakbecusan panitia menegakkan aturan main, (2) ketidakpedulian panitia mendengarkan aspirasi warga tentang aturan main pemilihan, (3) politik uang dari calon Kepala Desa, (4) munculnya warga yang belum cukup umur dan mendapat jatah untuk memilih, (5) munculnya intimidasi kepada warga dari pendukung calon lurah (6) kecurangan dalam penghitungan suara, dan (7) munculnya polling calon lurah yang dinilai sebagai bentuk kampanye terselubung. Protes warga itu dalam konteks mendukung jagonya yang gagal dalam pemilihan karena kalah suara tipis dan menemukan kejanggalan, dan yang jagonya menang suara tetapi tidak segera ditetapkan oleh panitia karena diisukan pemilihan tidak berlangsung jurdil dan luber.
Bentuk protes yang sering muncul adalah (1) tuntutan agar dilakukan pemilihan ulang, pembatalan calon yang menang, (3) pengangkatan calon yang menang suara, (4) tuntutan agar dilakukan penghitungan ulang, (5) pengusutan terhadap kecurangan dalam pemilihan, (6) boikot calon peserta pemilihan dengan didukung warga jika tidak ada tindakan penghentian pooling tentang populiratas calon lurah, (7) pengrusakan serta intimidasi terhadap panitia pemilihan yakni anggota BPD, dan (8) tuntutan agar calon lurah melakukan kampanye terbuka.
Munculnya pemberitaan tentang protes warga terhadap pemilihan BPD dan Kades diikuti pula protes warga terhadap pemilihan kepala dusun dan perangkat desa yang dianggap tidak aspiratif dan melanggar aturan main. Pada perkembangan terakhir muncul pula upaya pelengseran terhadap anggota BPD yang tidak pernah bekerja dan mempunyai aib sosial di masyarakat. Protes warga itu mengungkapkan beberapa hal. Pertama, warga mempunyai kepedulian untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis meskipun mereka itu dipengaruhi oleh para elite desa yang membutuhkan dukungan warga untuk melakukan kontrol terhadap jalannya pesta demokrasi. Kedua, jumlah dan kualitas protes warga dalam surat kabar itu hanyalah sebagian dari gejala yang berkembang dalam masyarakat. Media lokal seperti Suara Merdeka dan Radar Kudus juga meliputi kasus-kasus seputar protes warga terhadap pemerintahan desa. Sangat dimungkinkan banyak gejala yang tidak diliput. Ketiga, liputan itu akan mempengaruhi dinamika pemilihan di lain tempat sehingga menimbulkan sikap hati-hati dari elite politik dan panitia pemilihan untuk menghindari protes warga. Oleh karenanya pihak pemerintah kabupaten dalam hal ini Bupati selalu mengingatkan agar dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan tentunya LUBER dan jurdil serta terbuka.
Pesta demokrasi yang diliput media massa daerah menjadi pelajaran bagi elite desa untuk lebih piawai dalam menarik simpati warga. Demikian pula panitia penyelengara dari semua elemen dalam masyarakat lebih bertindak netral. Paling tidak para elite desa yang berkontestasi berusaha mendengarkan aspirasi warga dan mengindari tindakan yang mengundang protes warga. Dalam menarik simpati warga, para elite desa pun turun ke forum-forum di desa dengan lebih intensif. Mereka mulai meniru partai politik dengan mengadakan kampanye dan memperkenalkan programnya kepada warga. Namun demikian di tengah semakin ketatnya persaingan, para elite desa juga menggalang tim sukses yang lebih progresif kegiatannya termasuk melakukan politik uang dengan cara serahasia mungkin untuk mengindari intaian para pesaingnya.
Merosotnya kontrol desa terhadap warga dan terbukanya suasana yang kondusif bagi warga untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan elite politik membuka akses baru bagi warga untuk menguatkan posisinya berhadapan dengan pemerintah desa. Akses itu dimanfaatkan oleh warga sehingga muncul gejala yang disebut di sini sebagai reorientasi perkumpulan warga desa. Reorientasi ini meliputi organisasi lama yang semula merupakan bentukan pemerintah dan organisasi warga baik yang lama maupun yang baru.
II. REORIENTASI PERKUMPULAN WARGA DI ERA DEMOKRASI DAN OTONOMI DESA
Rukun Tetangga
Organisasi sosial yang ada dan pasti warga desa hampir selalu terlibat adalah perkumpulan yang berbasis teritorial yang dikenal dengan nama RT (Rukun Tetangga). Lembaga RT/RW dibentuk oleh pemerintah Orde Baru untuk mengendalikan komunitas dengan mengfungsikan sebagai bagian dari rantai birokrasi. RTnisasi sesungguhnya sejalan dengan pengelompokan masyarakat ke dalam jaringan sosial ketetanggaan yang melembaga dalam masyarakat Jawa dan pernah dimantapkan oleh pemerintah pendudukan Jepang . Oleh karena itu, walaupun RT menjadi kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintahan desa untuk mengatur masyarakatnya , RT tidak kehilangan fungsinya sebagai organisasi yang komunitarian yakni bekerja untuk mewujudkan solidaritas, kehangatan dan kemajuan lingkungan sosialnya.
Belakangan ini RT muncul ide penghapusan RT. RT tidak dilihat sebagai lembaga state corperatism lagi, melainkan organisasi komunitas yang berhasil mewujdukan fungsinya dan dikelola secara demokratis.
Pada masa Orde Baru, RT berfungsi sebagai ajang sosialisasi pemerintah desa dalam memasyarakatkan program pembangunan. RT juga sebagai ajang untuk memobilisasi sumberdaya warga untuk mendukung bekerjanya birokrasi dan pemerintah desa. Namun warganya juga memanfaatkan forum RT untuk menjalankan organisasi ”self governing community” di wilayahnya. Banyak urusan publik di RT dpecahkan bersama, dan menutut partisipasi warganya untuk menyumbangkan pikiran, tenaga dan dana. Untuk mengakrabkan anggota, RT mengadakan pertemuan secara bergiliran antar anggota atau di rumah warga yang luas. RT juga membuat dana simpan pinjam dan menyediakan pelayanan sosial sendiri seperti menyediakan peralatan pesta untuk warganya, dan dana pembangunan. Anggaran RT relatif kecil, tetapi dikembangkan secara partisipatif dan kerjasama yang kompak sehingga menjadi lembaga yang disegani oleh orang desa.
Ketegangan-ketegangan antara desa dengan warga mudah diketahui melalui forum RT. Hubungan yang personal, ketetanggaan dan kepercayaan yang tinggi menyebabkan keluhan warga terhadap desa disalurkan lewat forum RT daripada forum yang lain. RT dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang dibuat secara kompak sehingga dusun dan desa harus hati-hati jika warganya melakukan kontrol dengan mengatasnamakan RT.
Ikatan Komunitas Dusun
Salah satu organisasi teritorial yang penting di desa adalah dusun. Meskipun orang terkelompok dalam ikatan RT dan melalui RT mereka secara intensif membangun solidaritas kelompok. Sehingga solidaritas pada level dusun tetap mereka pertahankan. Jauh sebelum ikatan RT menguat, orang desa telah membangun solidaritas kelompok dusun dan menjadi kekuatan yang penting untuk mencapai kesejahteraan bersama, dan berhadapan dengan pemerintahan desa. Walaupun RT telah membangun suatu ekslusivitas modal sosial, namun komunitas dusun masih penting bagi warganya. Hal ini karena dusun berperan sebagai koordinator dan intermediator ke desa dan wilayah yang lebih luas. Warga sedusun tetap menjaga semangat komunitas yang menjadi benteng pertahanan baginya di dalam berhadapan dengan kekuatan dari luar sehingga loyalitas untuk menjaga kekompakan dan jati diri dusun terus dipelihara pada masa kini.
Perkumpulan Perempuan
Perubahan tata pemerintahan desa diikuti pula dengan perubahan hubungan kelembagaan antara pemerintah desa dengan organisasi sosial kaum perempuan. PKK desa merupakan organisasi kaum perempuan yang digerakkan oleh pemerintah desa dan mempunyai garis komando ke atas sampai ke Tim Penggerak PKK tingkat nasional yang biasanya dipimpin oleh istri Mendagri. Kini PKK tidak lagi dalam kendali komando semcam itu. PKK desa menjadi mandiri, tetapi tidak lagi mempunyai program pemerintah dan tidak didanai lagi. Dalam perkembangannya, PKK desa hanya melakukan kegiatan internal seperti arisan anggota karena tidak memiliki dana.
Surutnya PKK diikuti dengan meningkatnya perkumpulan kaum wanita yang dibeberapa desa terorganisir dalam organisasi yang disebut dasawisma. Organisasi yang dulu dibawah naungan dan bimbingan PKK desa. Setiap RT dapat membentuk dasawisma, nama dasawisma di setiap RT menggunakan suatu sebutan misalnya Mawar, Melati, bukan menggunakan nama numerik seperti nama RT.
Dasawisma menjadi satu-satunya perkumpulan kaum perempuan yang sama aktifnya seperti perkumpulan RT yang merepresentasikan perkumpulan bapak-bapak. Dulu dasawisma dipakai sebagai ajang kegiatan PKK dan penanaman Golkar pada masa pemilu. Namun kini dasawisma lepas dari kendali PKK dan juga pengaruh Golkar. Kini dasawisma semakin tenggelam dan bahkan jarangdijumpai pada desa – desa di Kabupaten Kudus.
Perkumpulan dan Jaringan Sosial Berbasis Profesi
Kontrol pemerintah yang berlebihan pada masa Orde Baru terhadap organisasi pelaku ekonomi di desa, telah menyebabkan organisasi ini mengalami ketidakberdayaan, dan hingga kini banyak organisasi ekonomi banyak yang mati ditelan bumi. Berbagai kepincangan struktural dan kultural yang menyebabkan usaha tani selalu terpuruk di wilayah ini. Para petani melakukan konsolidasi organisasi, dan menggalang kekuatan bersama untuk merombak jaringan perdagangan beras dan gabah yang dimonopoli oleh para tengkulak sebagai cara yang realistis untuk jangka waktu yang pendek daripada melakukan lobi ke pemerintah untuk mencegah impor beras. Namun demikian, rekomendasi itu hanya menjadi ingatan para wakil tani. Mereka tidak mempunyai harapan untuk bergerak karena tidak ada kepastian dan kemampuan untuk melakukan konsolidasi mengingat begitu kuatnya posisi oraang kaya didesa yang menjadi “tuan Besar” bagi kaum tani yang sekaligus juga banyak yang menjadi tengkulak.
Menurut pengamatan kami di Kabupaten Kudus Program PNPM Mandiri yang digulirkan Departemen Sosial kepada masyarakat desa kurang ada manfaatnya. Hal yang tampak justru bukan untuk pembangunan sumber daya manusia seperti pembangunan sekolah, pembangunan tempat pelatihan kerja yang justru sangat dibutuhkan saat sekarang melainkan hanya menguap tanpa ada hasil yang signifikan. Agar itu bias terwujud, harus ada trobosan dari masyarakat sendiri untuk mewujudkan hal-hal itu.
Forum Pendidikan Politik
Pendidikan politik di desa biasanya muncul atas inisasitif LSM. Namun yang terjadi di beberapa desa di Kudus merupakan inisiatif dari kaum muda. Cerita masa lalu mengungkapkan bahwa kiprah pemuda dalam pembangunan desa diwadahi oleh organisasi yang namanya sangat terkenal yaitu: Karang Taruna. Organisasi bentukan pemerintah ini menjadi tidak populer pada masa kini. Kaum muda merasa tidak berkepentingan untuk berkiprah dalam organisasi yang berbau pemerintah. Mereka lebih banyak aktif dalam perkumpulan pengajian di desanya. Akan tetapi para kaum muda telah banyak yang bangkit dengan menggerakkan organisasi yang bekerja untuk pendidikan politik. Diantaranya GP Ansor, IPNU/IPPNU dan Organisasi Pemuda Muhammadiyyah. Lewat organisasi pemuda diatas telah banyak menelurkan trobosan-trobosan yang brillian pada masing-masing desa.
Salah satu yang menjadi populer di desa ketika berhasil mengajak calon Kepala Desa untuk melakukan kampanye terbuka di desa sehingga warga masyarakat dapat mengetahui langsung visi misi dan program yang ditawarkan oleh para kandidat. Bukan hanya kampanye, mereka juga melakukan dengar pendapat dengan warga sehingga membuat pesta demokrasi menjadi semarak.
Selain itu dari organisasi GP Ansor, IPNU/IPPNU dan Pemuda Muhammadiyah, juga melahirkan kader-kader yang berkualitas dan berkompeten dalam dunia politik. Khususnya di Kabupaten Kudus. Contoh di Kudus, berawal dari Organisasi pelajar yang dinaungi oleh NU yang bernama IPNU/IPPNU Anak Cabang saja telah melahirkan seorang Pimpinan legislator di Kabupaten Kudus. Ini menunjukkan walaupun dari Golongan Akar Rumput juga mampu untuk menjadi seorang pemimpin yang berkualitas. Selain itu dari organisasi Pemuda Muhammadiyah dan GP Ansor juga telah melahirkan para cendikiawan-cendikiawan yang sangat hebat.
Forum Rembug Desa
Forum rembug desa yang yang dulu pernah mentradisi dalam penyelenggaraan pemerintah desa, Kades, Perangkat Desa dan elite desa di luar anggota BPD merindukan terbentuknya kembali forum rembug desa. Namun mereka takut untuk melangkah karena dikawatirkan justru inisiatif mereka dicurigai sebagai langkah untuk menyaingi keberadaan BPD. Seperti mendiktekan kehendak pemerintah sebagaimana yang pernah dilakukan melalui Lembaga Musyawarah Desa. Namun demikian pemerintah desa dan anggota BPD juga keberatan jika muncul forum warga yang tidak melibatkan mereka sehingga muncul suara sumbang yang menggoyahkan pemerintahan dan dimanfaatkan bukan untuk mendorong kemajuan pemerintahan melainkan untuk ajang penggalangan massa.
Dalam perkembangan lebih lanjut semua elemen yang menentukan kinerja good governence dari pihak pemerintah desa, BPD, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. Pentingnya memiliki forum rembug desa sehingga akan terbangun kerjasama dan saling percaya dari semua pihak.
Rembug desa membahas berbagai kinerja pemerintah desa dan program pembangunan. Dalam rembug desa, dibentuk panitia kecil terdiri dari wakil-wakil dari semua elemen pemerintah, BPD dan Tokoh Masyarakat untuk mengagendakan pembahasan-pembahasan masalah yang muncul. Semua wakil mempunyai hak suara yang sama dan pengambilan keputusan dicapai dengan musyawarah. Adapun wakil dari masyarakat dari kepala dusun, dan Tokoh Masyarakat dengan jumlah enam orang yang masing-masing mewakili warga dusunnya. Wakil dari pemerintah meliputi Kades dan semua perangkat desa, dan dari BPD adalah semua anggota, dan dari masyarakat ekonomi adalah dari perkumpulan petani dan perkumpulan koperasi dusun. Karena keterbatasan dana, maka jumlah anggota dikurangi, namun kedepan anggotanya akan ditingkatkan sesuai dengan ketentuan di atas. Sementara ini wakil khusus warga dipegang oleh tokoh-tokoh desa yang dipercaya oleh para ketua RT yang dapat berbicara di muka umum, terpandang dan menjadi warga yang baik di dusunnya. Panitia rembug desa terdiri dari empat utusan itu sehingga tidak terkesan sebagai pekerjaan pemerintah dan upaya memobilisai dukungan politik dari BPD dan warga.
Rembug desa membuahkan butir-butir kesepakatan yang dijunjung tinggi oleh pemerintah desa dan BPD. Dalam rembug desa ini suara warga dapat disalurkan secara resmi sehingga mereka dapat menagihnya jika kesepakatan yang telah dicapai diabaikan oleh pemerintah desa maupun BPD.
Kepedulian Masyarakat Terhadap Kebudayan
Era otonomi desa diwarnai dengan semangat menyemarakkan identitas local. Ini dapat dirasakan di Kabupaten Kudus pada tiga tahun terakhir yang diawali Pembukaan Studio Seni Alam milik salah seorang Pelukis terkenal di Indonesia yang merupakan asli orang Kudus. Dalam studio ini kita tidak hanya ditunjukkan dengan lukisan dua dimensi saja, akan tetapi kita dimanjakan dengan lukisan alam tiga dimensi atau dengan kata lain secara nyata dapat kita lihat. Selain itu berbagai macam adat dan tradisi yang ada di beberapa Desa di Kabupaten Kudus juga semakin semarak dan menjadi banyak perhatian tidak hanya di Kabupaten Kudus bahkan Kota tetanggapun merasakan. Contoh lain adalah Tradisi Dandangan yang merupakan aset kebudayaan di Kabupaten Kudus yang banyak sekali direspon oleh kalangan masyarakat luas Kabupeten Kudus. Ini dapat dilihat ketika tradisi Dandangan dipindah tempatkan lokasinya pada dua tahun yang lalu membuat berbagai macam konflik dan pertentangan di dalam masyarakat. Sehingga dengan kata lain Pemerintah akhirnya harus mengembalikan tradisi dimana tradisi itu ada.
Tradisi-tradisi asli desapun masih banyak yang bertahan, bahkan karena keuletan dan kreatifitas masyarakat, akhirnya pemerintah mendukung baik pendanaan dan sekaligus menjadi objek pariwisata budaya unggulan.
Ini menandakan respon masyarakat di Kabupaten Kudus sangat tajam dan sangat aktif dalam menyikapi berbagai macam khasanah kebudayaan.
IV. KESIMPULAN
Eforia reformasi dan otonomi desa telah mendorong bangkitnya civil society desa dan pesta demokrasi sebagai rangkaian dari pelaksanaan otonomi desa telah menaikkan posisi warga dihadapan elite desa. Era Otonomi desa itu diikuti pula oleh menguatnya perkumpulan yang mererpresentasikan civil society. Pertama, terjadi reorientasi atas organisasi lama yang dulunya dibawah kontrol pemerintah desa kini bangkit menjadi perkumpulan yang mandiri dan menjalin semaangat kerja yang partisipatif dari para anggotanya. Perkumpulan lama yang bersifat hanya sekolompok komunitas seperti RT dan dusun bahkan menjadi sangat kuat posisinya dihadapan desa ketika mereka justru mampu mengakses jalannya pemerintahan desa dari segi rekruitmen kepala desa, pamong, dan anggota BPD. Kedua, menguatnya jaringan sosial antar perkumpulan lama dengan berbagai kekuatan civil society sehingga dapat lebih kuat posisinya dalam mengusai sumber daya lokal yang didukung LSM, perguruan tinggi dan mahasiswa. Ketiga, munculnya organisasi baru level desa yang menjadi pilar penting bagi terwujudnya tata pemerintahan baik karena menjalankan fungsi kontrol dan pendidikan politik seperti yang dilakukan oleh FKPD.
Meskipun posisi civil society desa mengalami peningkatan, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa kepedulian warga desa terhadap jalannya pemerintahan desa terfokus dalam pesta demokrasi, tetapi kurang banyak pada pelaksanaan pemerintahan dan program pembangunan. Selain itu reorientasi perkumpulan warga juga masih mengundang persoalan tersendiri bagi menguatnya civil society ke depan.
Pertama: partisipasi warga dalam proses demokrasi ibaratnya masih seperti petugas “pemadam kebakaran” sehingga mereka bertindak ketika terjadi petaka saja, tetapi tidak dilanjutkan menjadi suatu bentuk partisipasi aktif yang berkelanjutan. Partisipasi mereka masih terfokus dalam pesta demokrasi yang sebenarnya mereka pun sangat mungkin dimobiliasasi oleh elite desa walaupun mereka juga mempunyai bargaining power yang kuat untuk mewujudkan pesta demokratis yang aspiratif.
Kedua: proses menguatkan civil society desa membutuhkan waktu yang panjang dan diperlukan juga berbagai penglaman pahit yang dirasakan oleh warga Pengalaman pahit itu menumbuhkan solidaritas sosial internal yang kuat yang menjadi energi bagi mereka untuk bertarung dengan penguasa.
Ketiga: komunitarianism yang bersifat eksklusif dapat memainkan peran yang penting bagi penguatan civil society. Ini terlihat dari menguatnya komunitarianisme RT, dan dusun serta perkumpulan pemuda. Kedepan komunitarianisme ini dapat menjadi kendala bagi terwujudnya solidaritas kelompok pada level desa. Munculnya kecenderungan civil society desa menggalang semangat lokal melalui perkumpulan yang kecil seperti RT dan dusun dapat menjadi potensi civil society yang sulit digerakkan untuk menghadapi kekuatan di tingkat desa yang besar. Masing-masing dengan semangat lokalnya bekerja sendiri-sendiri untuk kepentingan masing-masing sehingga kekuatan bersama tidak muncul.
Keempat: masih diperlukan kehadiran LSM dan kekuatan eksternal seperti gerakan mahasiswa dan perguruan tinggi untuk menfasilitasi tumbuhnya civil society dan berhasilnya civil society yang kuat guna melawan kontrol negara. Eforia reformasi telah menjadi energi civil society desa untuk melakukan konsolidasi dan menggerakkan kekuatannya, namun dalam prosesnya mereka perlu difasilitasi oleh kekuatan dari luar guna menjamin keberhasilannya.
Kelima: civil society desa masih harus mengembangkan berbagai arena agar dapat mengontrol jalannya pemerintahan. Hampir semua area di desa selalu melibatkan elite desa. Rembug desa merupakan eksperimen untuk mengembangkan forum warga, tetapi tetap saja melibatkan elite desa dalam forum itu. Dengan meningkatkan pengorganisaian masyarakat sipil, kelak rembug desa lebih menyuarakan warga daripada elitenya. Sehingga pendidikan polotik terhadap masyarakat desa akan terbentuk dengan sendirinya melalui pengalaman-pengalaman yang telah terjadi. Namun walaupun demikian peran aktif lembaga non-pemerintah juga harus dapat bersikap netral dalam mendidik masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2001. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Rosda.
Hefner, Bob. 2000.’Perkembangan Cicil Society di Indonesia” dalam Nico L. Kana, Pradjarta Desa dan Kutut Suwiondo dkk (eds) Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Salatiga: Percik. Hal.241.
Hudayana. Bambang. 2001. “Demokrasi dan Pasar”. Bulletin Flamma. (3): 9.
___________________ 2002. “Dusun dalam Cengkeraman Desa; Komunitas Humanistik dalam Komunitas Politik”. Makalah Seminar Dinamika Politik Lokal di Indonesia, diselenggarakan oleh Percil Salatiga 9-12 Juli 2002.
Santoso, Purwo. 2000. ‘pengelolaan Modal Sosial dalam Rangka Pengembangan Otonomi Desa: Suatu Tantangan”, Makalah Seminar Bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK), UGM, Yogyakarta 8 Agustus 2002.
Schiller, Jim. 2002. “Looking for Civil society the 19999 Election in Jepara”. Renai 2 (1):5-18.
Sullivan, John. 1992. Local Government and Community in Java, an Urban Case Study. Singapore: Oxford University Press.
Tandon, Rajesh dan Ranjito Mohanty. 2002. Civil society and Governance. New Delhi: Samskriti.
Tarrow, Sidney. 1996. “Making Social Science Work Across Space and Time: a Critical Reflection on Robert Putnam’s Making Democracy Work” American Political Science Review. 90 (2): 380-397.
Wulandari, D, dkk. 2000. Kisah-Kisah Perjuangan Hak Rakyat Atas Tanah ”Di Atas Tanah Kami, Kami bebas Menentukan”. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.